BismillahirRahmaanirRahiim
Suatu
ketika Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengajarkan sebuah
doa sangat panjang kepada sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu.
Lalu Zaid radhiyallahu ’anhu diperintahkan oleh Nabi shollallahu
’alaih wa sallam untuk membacanya setiap hari, bahkan diharuskan kepadanya
untuk menyuruh keluarganya membaca pula. Doa ini sangat panjang, namun ada
bagian sangat penting dari doa tersebut yang berkaitan dengan sikap seorang
beriman menghadapi berbagai realitas dunia, baik yang menyenangkan maupun yang
terasa pahit. Sebab hidup kita di dunia senantiasa diwarnai oleh dinamika yang
berubah-ubah. Kadang kita diberi senang, kadang mengalami derita. Kadang sehat
kadang sakit. Kadang menang kadang kalah. Kadang lapang, kadang sempit. Ada perjumpaan, ada
perpisahan. Ada
kelahiran, ada kematian. Itulah dunia. Semua serba fana, tidak ada yang
lestari.
Seorang
yang beriman dikagumi oleh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Beliau
sedemikian kagum akan karakter mu’min sehingga pernah suatu ketika beliau
mengutarakan takjub akan fenomena orang beriman.
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ
وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ
فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh
menakjubkan urusan orang beriman! Sesungguhnya semua urusannya baik. Dan yang
demikian tidak dapat dirasakan oleh siapapun selain orang beriman. Jika ia
memperoleh kebahagiaan, maka ia bersyukur. Bersyukur itu baik baginya. Dan jika
ia ditimpa mudharat, maka ia bersabar. Dan bersabar itu baik baginya.” (HR
Muslim 5318)
Saudaraku,
berdasarkan hadits di atas berarti perjalanan hidup seorang mu’min adalah suatu
rentetan penyesuaian sikap terhadap realitas yang Allah taqdirkan atas dirinya.
Bila ia mengalami suatu hal yang menyenangkan, kemenangan, memperoleh karunia,
nikmat, anugerah atau rezeki, maka pandai-pandailah ia mensyukurinya.
Sebaliknya, bila ia ditimpa mudharat, kekalahan, duka, lara, nestapa atau
kehilangan sesuatu atau seseorang, maka hendaklah ia kuat-kuat menyabarkan
dirinya. Jadi inilah hakikat hidup seorang mu’min. Nah, agar kita memiliki
kemampuan untuk senantiasa istiqomah dalam bersyukur kala senang dan
bersabar kala sedih, doa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang
diajarkan kepada sahabat Zaid radhiyallahu ’anhu mungkin dapat membantu
kita. Doanya adalah sebabgai berikut:
“Ya Allah, aku mohon ridho (dalam
hatiku) sesudah keputusanMu, kesejukan hidup setelah kematian, kelezatan
memandang wajahMu dan kerinduan berjumpa denganMu.” (HR Ahmad 20678)
Pertama,
kita memohon kepada Allah agar sikap ridho selalu menghiasi hati kita.
Ridho di sini maksudnya menghadapi segala keputusan Allah yang telah
ditaqdirkan atas diri kita. Biasanya manusia mudah untuk ridho terhadap taqdir
Allah yang menyenangkan. Mana ada orang menyesal ketika Allah kasih dia rezeki?
Tapi jangan salah, saudaraku. Maksud ridho di sini ialah agar keridhoan itu
tampil dalam bentuk pandai bersyukur ketika nikmat menyapa kita. Sebab tidak
sedikit manusia yang ketika memperoleh suatu karunia lalu lupa mengkaitkan
dengan taqdir Allah. Ia lupa untuk selalu menyadari bahwa tidak ada satupun
kenikmatan yang sampai kepada manusia kecuali atas izin Allah. Nikmat mampir
bukan karena kehebatan seseorang. Betapapun hebatnya seseorang, namun nikmat
tidak akan bisa ia peroleh jika Allah tidak izinkan nikmat itu sampai kepada
dirinya. Ia bisa memperoleh nikmat semata-mata karena Allah akhirnya
mengizinkan nikmat itu sampai kepada dirinya.
Orang
biasanya sulit ridho bila menyangkut taqdir Allah yang sifatnya pahit atau
tidak menyenangkan. Oleh karenanya doa di atas juga kita baca saat ditimpa
kekalahan, duka, lara, nestapa, mudharat agar keridhoan itu tampil dalam bentuk
kemampuan untuk bersikap sabar menghadapi apapun yang Allah taqdirkan. Dan jika
itu menyangkut suatu hal yang menyedihkan alias musibah jangan kita jadikan
Allah sebagai –maaf- ”kambing hitam”nya. Salah satu bentuk sabar ialah
seseorang sanggup mengambil pelajaran dari setiap musibah yang menimpa dirinya.
Ia mendahulukan untuk menyalahkan dirinya sendiri daripada mencari fihak lain
sebagai sebab musibah tersebut. Lalu ia selanjutnya mengkoreksi diri agar tidak
jatuh kepada kekeliruan langkah seperti yang ia telah lakukan sebelumnya.
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ
مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
”Apa
saja ni`mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS An-Nisa ayat 79)
Kedua,
lalu sisa doanya menyangkut perkara di luar dunia. Coba perhatikan:
أَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ الرِّضَا بَعْدَ الْقَضَاءِ وَبَرْدَ
الْعَيْشِ بَعْدَ
الْمَمَاتِ وَلَذَّةَ نَظَرٍ إِلَى وَجْهِكَ وَشَوْقًا
إِلَى لِقَائِكَ
“Ya
Allah, aku mohon ridho (dalam hatiku) sesudah keputusanMu, kesejukan hidup
setelah kematian, kelezatan memandang wajahMu dan kerinduan berjumpa denganMu.”
(HR Ahmad 20678)
Nabi
shollallahu ’alaih wa sallam mengarahkan Zaid radhiyallahu ’anhu untuk
memohon kepada Allah ”…kesejukan hidup setelah kematian, kelezatan memandang
wajah Allah dan kerinduan berjumpa dengan Allah.” Mengapa demikian? Karena,
saudaraku, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ingin mengingatkan Zaid radhiyallahu
’anhu dan kita semua untuk memandang bahwa apapun yang kita alami di dunia
ini –senang maupun sedih- pada hakikatnya adalah perkara kecil dan tidak
berarti jika dibandingkan dengan mengingat Allah Yang Maha Besar, mengingat
kematian, mengingat perjumpaan dengan Allah. Dan tidak ada kenikmatan yang
lebih utama bagi penghuni surga selain memperoleh kesempatan memandang wajah
Allah…!
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ
اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ
تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا
الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ قَالَ
فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا
شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ
عَزَّ وَجَلَّ
“Bila
penghuni surga telah masuk surga, maka Allah berfirman (kepada mereka): ”Apakah
kalian ingin sesuatu untuk Kutambahkan? ” Maka mereka menjawab: ”Bukankah
Engkau telah putihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah masukkan kami ke
dalam surga? Dan selamatkan kami dari api neraka?” Nabi shollallahu ’alaih
wa sallam bersabda: ”Maka disingkaplah Al-Hijab (tabir). Sehingga ahli
surga tidak memperoleh sesuatu yang lebih mereka sukai daripada memandang wajah
Rabb mereka Allah’Azza wa Jalla.” (HR Muslim 266)
Subhanallah…!
Penghuni surga memperoleh hak untuk memandang wajah Allah. Suatu kenikmatan
yang mengalahkan segenap kenikmatan surga lainnya. Suatu kenikmatan yang
disebut dalam Al-Qur’an sebagai ”tambahan” alias bonus bagi ahli surga.
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
”Bagi
orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya.” (QS Yunus ayat 26)
Saudaraku,
bagi seorang mu’min yang sibuk berjuang agar kelak di akhirat berhak memandang
wajah Allah, tentulah segenap pengalaman hidup di dunia menjadi terasa kecil.
Jika ia mendapat nikmat dia tidak akan lupa diri, karena tidak ada apa-apanya
dibandingkan nikmat memandang wajah Allah yang ia idam-idamkan selalu. Jika
tertimpa kesulitan ia akan bersabar dengan meyakini bahwa semoga kesabaran itu
akan menyebabkan ia berhak memandang wajah Allah disamping diselamatkan dari
api neraka. Dan tentulah di antara modal utama untuk berhak memandang wajah
Allah ialah ia selalu sibuk memastikan bahwa apapun yang ia kerjakan di dunia
ini adalah semata-mata demi memperoleh wajah Allah alias ikhlas dalam berbuat
apapun. InsyaALlah.-
“Ya
Allah, aku mohon ridho (dalam hatiku) sesudah keputusanMu, kesejukan hidup
setelah kematian, kelezatan memandang wajahMu dan kerinduan berjumpa denganMu.”
0 Response to " Doa Memohon Ridho Allah"
Post a Comment