BismillahirRahmaanirRahiim
Pakaian merupakan salah satu nikmat sangat besar yang Allah
berikan kepada para hambanya, Islam mengajarkan agar seorang muslim berpakain
dengan pakaian islami dengan tuntunan yang telah Allah dan Rasul-Nya ajarkan.
Berikut ini adalah adab-adab berkenaan dengan berpakaian yang sepantasnya
diketahui oleh seorang muslim.
Mendahulukan yang Kanan
Di antara sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
mendahulukan yang kanan ketika memakai pakaian dan semacamnya. Dalil pokok
dalam masalah ini, dari Aisyah Ummul Mukminin beliau mengatakan, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan yang kanan ketika bersuci,
bersisir dan memakai sandal.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam redaksi muslim dikatakan, “Rasulullah menyukai
mendahulukan yang kanan dalam segala urusan, ketika memakai sandal, bersisir
dan bersuci.”
Mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi mengatakan, “Hadits
ini mengandung kaidah baku dalam syariat, yaitu segala sesuatu yang mulia dan
bernilai maka dianjurkan untuk mendahulukan yang kanan pada saat itu semisal
memakai baju, celana panjang, sepatu, masuk ke dalam masjid, bersiwak,
bercelak, memotong kuku, menggunting kumis, menyisir rambut, mencabut bulu
ketiak, menggundul kepala, mengucapkan salam sebagai tanda selesai shalat,
membasuh anggota wudhu, keluar dari WC, makan dan minum, berjabat tangan,
menyentuh hajar aswad dan lain-lain. Sedangkan hal-hal yang berkebalikan dari
hal yang diatas dianjurkan untuk menggunakan sisi kiri semisal masuk WC, keluar
dari masjid, membuang ingus, istinjak, mencopot baju, celana panjang dan
sepatu. Ini semua dikarenakan sisi kanan itu memiliki kelebihan dan kemuliaan.”
(Syarah Muslim, 3/131)
Adab Memakai Sandal
Yang sesuai sunnah berkaitan dengan memakai sandal adalah
memasukkan kaki kanan terlebih dahulu baru kaki kiri. Ketika melepas kaki kiri
dulu baru kaki kanan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian memakai sandal, maka
hendaklah dimulai yang kanan dan bila dicopot maka hendaklah mulai yang kiri.
Sehingga kaki kanan merupakan kaki yang pertama kali diberi sandal dan kaki
terakhir yang sandal dilepas darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Larangan Hanya Memakai Satu Sandal
Demikian pula seorang muslim dimakruhkan hanya menggunakan
satu buah sandal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika tali sandal kalian copot maka janganlah
berjalan dengan satu sandal sehingga memperbaiki sandal yang rusak.” (HR.
Muslim)
Demikian pula dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “janganlah kalian berjalan menggunakan satu sandal.
Hendaknya kedua sandal tersebut dilepas ataukah keduanya dipakai.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Perlu diketahui bahwa dua hal di atas hukumnya adalah
dianjurkan dan tidak wajib. Oleh karena itu, orang yang mendapatkan masalah
dengan alas kakinya karena tali sandal copot maka hendaknya berhenti sejenak
untuk memperbaiki sandal tersebut untuk melepas semua sandal lalu melanjutkan
perjalanan. Tidak sepantasnya bagi seorang mukmin menyelisihi larangan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun hukumnya makruh dan tidak sampai derajat
haram. Hendaknya kita berlatih dan membiasakan diri untuk mengikuti petunjuk
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir dan bathin sehingga mendapatkan
kemuliaan karena ittiba’ dengan sunnah Nabi secara hakiki.
Sebenarnya, makna eksplisit dari larangan memakai satu
sandal adalah menunjukkan hukum haram andai tidak terdapat pernyataan Imam
Nawawi yang mengklaim bahwa memakai dua sandal sekaligus itu disepakati sebagai
perkara yang dianjurkan dan tidak wajib. Dalam Riyadhus Shalihin beliau memberi
judul untuk hadits-hadits di atas dengan hukum makruh saja. Maka keabsahan
nukilan ini perlu dikaji dengan lebih seksama jika ternyata tidak benar maka
makna eksplisit larangan dan berbagai penjelasan ulama tentang motif larangan
ini menunjukkan bahwasanya menggunakan satu alas kaki saja itu hukumnya haram.
Perkataan Para Ulama Tentang Sebab Pelarangan Tersebut
Mengenai larangan berjalan dengan satu sandal, para ulama
memberikan beragam keterangan tentang motif Nabi dengan larangan tersebut. Imam
Nawawi menyatakan bahwa para ulama mengatakan sebab larangan tersebut adalah
karena menyebabkan pemandangan yang tidak pantas dilihat. Nampak cacat dan
menyelisihi sikap wibawa. Di samping itu, kaki yang bersandal jelas lebih
tinggi daripada kaki yang lain. Hal ini tentu menimbulkan kesulitan saat
berjalan. Bahkan boleh jadi menyebabkan terpeselet. (Syarah Muslim, 14/62)
Sedangkan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari,
10/309-310 mengatakan, “Al-Khithabi menyatakan bahwa hikmah larangan
menggunakan satu sandal adalah karena itu berfungsi menjaga kaki dari gangguan
duri atau semisalnya yang ada di tanah. Jika yang bersandal hanya salah satu
kaki maka orang tersebut harus ekstra hati-hati untuk menjaga kaki yang lain,
satu hal yang tidak perlu dilakukan untuk kaki yang bersandal. Kondisi ini
menyebabkan gaya
berjalan orang ini tidak lagi lumrah dan tidak menutup kemungkinan dia bisa
terpeleset. Ada
yang berpendapat hal itu dilarang karena tidak bersikap adil terhadap anggota
badan dan boleh jadi orang yang berjalan dengan satu sandal dinilai oleh
sebagian orang sebagai orang yang akalnya bermasalah. Sedangkan Ibnul Arabi
mengatakan, “Ada yang berpendapat bahwa hal
tersebut terlarang karena itu merupakan gaya
setan berjalan. Ada
pula yang berpendapat karena sikap tersebut merupakan sikap yang tidak wajar
dan lumrah. Di sisi lain, Al-Baihaqi berkomentar bahwa hukum makruh karena
memakai satu sandal adalah disebabkan hal tersebut merupakan pemicu
popularitas. Banyak mata akan tertarik memandangi orang yang berperilaku aneh
seperti itu dan terdapat hadits yang melarang pakaian yang menyebabkan
popularitas. Karenanya segala sesuatu yang menyebabkan popularitas sangat
berhak untuk dijauhi.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan berjalan menggunakan satu
sandal.” (HR. Thahawi dalam Musykil Al-atsar, Al-Albani mengatakan setelah
menyebutkan sanadnya ini adalah sanad yang shahih, seluruh perawinya adalah
orang-orang yang tsiqah, perawi yang dipakai dalam shahih Bukhari dan shahih
Muslim selain ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi namun beliau juga seorang yang
kredibel.” (Silsilah shahihah no. 348). Dengan hadits ini jelaslah bagi kita
motif dari larangan Nabi untuk berjalan dengan satu sandal karena itulah gaya berjalannya setan.
Jika demikian, maka kita tidak perlu memaksa-maksakan diri dan mencari-cari
motif pelarangan.
Termasuk Sunnah Adalah Kadang-kadang Berjalan Tanpa Alas
Kaki
Namun perlu diketahui bahwa termasuk sunnah Nabi adalah
berjalan tanpa alas kaki kadang-kadang, dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, ada
seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pergi menemui Fudhalah
bin Ubaid yang tinggal di Mesir. Setelah tiba dia berkata kepada Fudhalah,
“Kedatanganku ini bukanlah dengan maksud berkunjung akan tetapi aku mendengar
demikian pula engkau sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Aku berharap engkau memiliki ilmu tentangnya. Fudhalah bertanya,
“Hadits apa yang engkau maksudkan?” Orang tadi mengatakan, “Demikian dan
demikian,” Orang tersebut lalu bertanya, “Kenapa ku lihat rambutmu tidak
tersisir rapi padahal engkau adalah seorang penguasa.” Fudhalah mengatakan,
“Sesungguhnya Rasulullah melarang kami untuk terlalu sering bersisir.” “Lalu
mengapa aku tidak melihatmu memakai sandal?” Tanya orang tersebut. Fudhalah mengatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk kadang-kadang
berjalan tanpa alas kaki.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dinilai shahih oleh
Al-Albani)
***
0 Response to "Adab Berpakaian (1)"
Post a Comment