BismillahirRahmaanirRahiim
Memilih Pakaian Warna Putih
Warna pakaian yang dianjurkan untuk laki-laki adalah warna
putih. Tentang hal ini terdapat hadits dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Kenakanlah pakaian yang berwarna putih, karena itu
adalah sebaik-baik pakaian kalian dan jadikanlah kain berwarna putih sebagai
kain kafan kalian.” (HR. Ahmad, Abu Daud dll, shahih)
Dari Samurah bin Jundab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Kenakanlah pakaian berwarna putih karena itu lebih bersih dan
lebih baik dan gunakanlah sebagai kain kafan kalian.” (HR . Ahmad, Nasa’I dan
Ibnu Majah, shahih)
Tentang hadits di atas Syaikh Muhammad bin Shalih al
Utsaimin berkomentar, “Benarlah apa yang Nabi katakan karena pakaian yang
berwarna putih lebih baik dari warna selainnya dari dua aspek. Yang pertama
warna putih lebih terang dan nampak bercahaya. Sedangkan aspek yang kedua jika
kain tersebut terkena sedikit kotoran saja maka orang yang mengenakannya akan
segera mencucinya. Sedangkan pakaian yang berwarna selain putih maka boleh jadi
menjadi sarang berbagai kotoran dan orang yang memakainya tidak menyadarinya
sehingga tidak segera mencucinya. Andai jika sudah dicuci orang tersebut belum
tahu secara pasti apakah kain tersebut telah benar-benar bersih ataukah tidak.
Dengan pertimbangan ini Nabi memerintahkan kita, kaum laki-laki untuk memakai
kain berwarna putih.
Kain putih disini mencakup kemeja, sarung ataupun celana.
Seluruhnya dianjurkan berwarna putih karena itulah yang lebih utama. Meskipun
mengenakan warna yang lainnya juga tidak dilarang. Asalkan warna tersebut bukan
warna khas pakaian perempuan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat
laki-laki yang menyerupai perempuan. Demikian pula dengan syarat bukan berwarna
merah polos karena nabi melarang warna merah polos sebagai warna pakaian
laki-laki.Namun jika warana merah tersebut bercampur warna putih maka tidaklah
mengapa.” (Syarah Riyadus Shalihin, 7/287, Darul Wathon)
Pakaian Berwarna Merah?
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash, Rasulullah pernah
melihatku mengenakan pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur maka Nabi menegurku
dengan mengatakan, “Ini adalah pakaian orang-orang kafir jangan dikenakan”.
Dalam lafazh yang lain, Nabi melihatku mengenakan kain yang dicelup dengan
‘usfur maka Nabi bersabda, “Apakah ibumu memerintahkanmu memakai ini?” Aku
berkata, “Apakah kucuci saja?” Nabipun bersabda, “Bahkan bakar saja.” (HR
Muslim)
Menurut penjelasan Ibnu Hajar mayoritas kain yang dicelup
dengan ‘ushfur itu berwarna merah (Fathul Bari, 10/318)
Dalam hadits di atas Nabi mengatakan “Apakah ibumu
memerintahkanmu untuk memakai ini” hal ini menunjukkan pakain berwarna merah
adalah pakaian khas perempuan sehingga tidak boleh dipakai laki-laki. Sedangkan
maksud dari perintah Nabi untuk membakarnya maka menurut Imam Nawawi adalah
sebagai bentuk hukuman dan pelarangan keras terhadap palaku dan yang lainnya
agar tidak melakukan hal yang sama.
Dari hadits di atas juga bisa kita simpulkan bahwa maksud
pelarangan Nabi karena warna pakaian merah adalah ciri khas warna pakaian orang
kafir. Dalam hadits di atas Nabi mengatakan “Sesungguhnya ini adalah pakaian
orang-orang kafir. Jangan dikenakan”.
Terdapat hadits lain yang nampaknya tidak sejalan dengan
penjelasan di atas itulah hadits dari al Barra’, beliau mengatakan, “Nabi
adalah seorang yang berbadan tegap. Ketika Nabi mengenakan pakaian berwarna
merah maka aku tidak pernah melihat seorang yang lebih tampan dibandingkan
beliau”.(HR Bukhari dan Muslim).
Jawaban untuk permasalahan ini adalah dengan kita tegaskan
bahwa yang terlarang adalah kain yang berwarna merah polos tanpa campuran warna
selainnya. Sehingga jika kain berwarna merah tersebut bercampur dengan
garis-garis yang tidak berwarna merah maka diperbolehkan.
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menyebutkan adanya tujuh
pendapat ulama tentang hukum memakai kain berwarna merah. Pendapat ketujuh,
kain yang terlarang adalah berlaku khusus untuk kain yang seluruhnya dicelup
hanya dengan ‘ushfur. Sedangkan kain yang mengandung warna yang selain merah
semisal putih dan hitam adalah tidak mengapa. Inilah makna yang tepat untuk
hadits-hadits yang nampaknya membolehkan kain berwarna merah karena tenunan
yaman yang biasa Nabi kenakan itu umumnya memiliki garis-garis berwarna merah
dan selain merah.
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Ada ulama yang mengenakan kain berwarna merah
polos dengan anggapan bahwa itu mengikuti sunnah padahal itu sebuah kekeliruan
karena kain merah yang Nabi kenakan itu tenunan yaman sedangkan tenunan yaman
itu tidak berwarna merah polos.” (Fathul Bari, 10/319)
Di samping diplih oleh Ibnu Qayyim, pendapat di atas juga
didukung oleh Ibnu Utsaimin. Beliau mengatakan, “Kain berwarna merah yang Nabi
pakai tidaklah berwarna merah polos akan tetapi kain yang garis-garisnya
berwarna merah. Semisal istilah kain sorban merah padahal tidaklah seluruhnya
berwarna merah bahkan banyak warna putih bertebaran di sana . Namun disebut demikian karena titik dan
coraknya didominasi warna merah. Demikian pula sebutan kain tenun berwarna
merah maksudnya garis-garisnya berwarna merah. Adapun seorang laki-laki memakai
kain berwarna merah polos tanpa ada warna putihnya maka itu adalah sesuatu yang
dilarang oleh Nabi.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 7/288, Darul Wathon)
Pendapat di atas juga disepakati oleh Syeikh Abdullah bin
Abdurrahman Al Bassam. Beliau mengatakan, “Terdapat banyak hadits yang melarang
pakaian merah untuk laki-laki. Di antaranya adalah hadits yang diriwayarkan
oleh Bukhari, ‘Sesungguhnya Nabi melarang kain berwarna merah’. Lalu bagaimana
dengan hadits yang menyebutkan bahwa beliau memakai kain berwarna merah?
Dalam Zadul Ma’ad, Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa kain merah
yang Nabi kenakan itu bukan merah polos tapi kain yang memiliki garis-garis
berwarna merah dan hitam. Sehingga kelirulah orang yang memiliki praduga bahwa
itu adalah kain berwarna merah polos dan tidak tercampur dengan warna
selainnya. Karena kain yang mayoritas garis-garisnya berwarna merah itu disebut
kain merah.
Kami dapatkan nukilan pendapat dari guru kami, Abdurrahman
As Sa’di bahwa Nabi mengenakan kain berwarna merah untuk menjelaskan bahwa itu
diperbolehkan.
Menurut hemat kami penggabungan yang diajukan oleh Ibnul
Qoyyim itu lebih bagus karena larangan mengenakan kain berwarna merah polos itu
keras lalu bagaimana mungkin beliau mengenakannya dengan maksud menjelaskan
bahwa itu adalah suatu yang dibolehkan.” (Taisirul ‘Allam, 1/147)
Sedangkan tentang hal ini, Syaikh Salim Al Hilali memberikan
uraian sebagai berikut. “Tentang memakai pakaian berwarna merah terdapat
beberapa pendapat ulama’. Yang pertama membolehkan secara mutlak. Inilah
pendapat dari ‘Ali, Tholhah, Abdullah bin Ja’far, Al Barra’ dan para shahabat
yang lain. Sedangkan diantara tabiin adalah Sa’id bin Al Musayyib, An Nakha’I,
Asy sya’bi, Abul Qilabah dan Abu Wa’il. Yang kedua melarang secara mutlak. Yang
ketiga, hukum makruh berlaku untuk kain berwarna merah membara dan tidak untuk
warna merah yang reduh. Pendapat ini dinukil dari atho’, Thowus dan Mujahid.
Pendapat keempat, hukum makruh berlaku untuk semua kain berwarna merah jika
dipakai dengan maksud semata berhias atau mencari populeritas namun
diperbolehkan jika dipakai di rumah dan untuk pakaian kerja. Pendapat ini
dinukil dari ibnu Abbas. Yang kelima, diperbolehkan jika dicelup dengan warna
merah saat berupa kain baru kemudian ditenun dan terlarang jika dicelup setelah
berupa tenunan. Inilah pendapat yang dicenderungi oleh Al Khathabi. Yang
keenam, larangan hanya berlaku untuk kain yang dicelup dengan menggunakan bahan
‘ushfur karena itulah yang dilarang dalam hadits sedangkan bahan pencelup
selainnya tidaklah terlarang. Pendapat ketujuh, yang terlarang adalah warna
merah membara bukan semua warna merah dan pakaian tersebut digunakan sebagai
pakaian luar karena demikian itu adalah gaya
berpakaian orang yang tidak tahu malu. Sedangkan pendapat terakhir, yang
terlarang adalah jika kain tersebut seluruhnya dicelup dengan warna merah. Tapi
jika ada warna selainnya, semisal putih dan merah maka tidak mengapa.
Aku (Syaikh Salim al Hilali) katakan, “Pendapat yang paling
layak untuk diterima adalah pendapat terakhir. Dengannya hadits-hadits tentang
pakaian Nabi yang berwarna merah bisa disinkronkan karena kain yang dikenakan
Nabi itu tenunan Yaman yang pada umumnya memiliki garis-garis merah dan
selainnya…… Sedangkan pendapat-pendapat yang lain itu kurang tepat. Pendapat
pertama bisa dibantah dengan penjelasan bahwa kain berwarna merah yang
dimaksudkan itu tidak polos. Pendapat kedua juga keliru karena jelas nabi
memiki kain berwarna merah. Sedangkan pendapat ketiga, keempat, kelima, keenam
dan ketujuh adalah pendapat-pendapat yang memberikan rincian tanpa dalil dan
menghukumi dalil tanpa dalil.” (Bahjatun Nazhirin, 2/81-82)
Berdasarkan uraian panjang lebar di atas jelaslah bahwa kain
sorban merah yang biasa dikenakan orang-orang saudi bukan termasuk ke dalam
hadits larangan berpakaian merah.
***
0 Response to "Adab Berpakaian (2)"
Post a Comment