BismillahirRahmaanirRahiim
Haruskah Hitam?
Terkait dengan warna pakaian terutama pakaian perempuan,
terdapat beragam sikap orang yang dapat kita jumpai. Ada yang beranggapan bahwa warna pakaian
seorang perempuan muslimah itu harus hitam atau minimal warna yang cenderung
gelap. Di sisi lain ada yang memiliki pandangan bahwa perempuan bebas memilih
warna dan motif apa saja yang dia sukai. Sesungguhnya Allah itu maha indah dan
mencintai keindahan, kata mereka beralasan. Manakah yang benar dari
pendapat-pendapat ini jika ditimbang dengan aturan al-Qur’an dan sunnah
shahihah yang merupakan suluh kita untuk menentukan pilihan dari berbagai
pendapat yang kita jumpai?
Salah satu persyaratan pakaian muslimah yang syar’i adalah
pakaian tersebut bukanlah perhiasan. Dalam syarat ini adalah firman Allah yang
artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya.” (QS. an Nur:31). Dengan redaksinya yang umum ayat ini
mencakup larangan menggunakan pakaian luar jika pakaian tersebut berstatus
“perhiasan” yang menarik pandangan laki-laki.
عن فَضَالَةُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ رَجُلٌ
فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ عَاصِيًا وَأَمَةٌ أَوْ عَبْدٌ
أَبَقَ فَمَاتَ وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا قَدْ كَفَاهَا مُؤْنَةَ
الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ فَلَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ
Dari Fadhalah bin Ubaid, dari Nabi beliau bersabda, “Tiga
jenis orang yang tidak perlu kau tanyakan (karena mereka adalah orang-orang
yang binasa). Yang pertama adalah orang yang meninggalkan jamaah kaum muslimin
yang dipimpin oleh seorang muslim yang memiliki kekuasaan yang sah dan memilih
untuk mendurhakai penguasa tersebut sehingga meninggal dalam kondisi durhaka
kepada penguasanya. Yang kedua adalah budak laki-laki atau perempuan yang kabur
dari tuannya dan meninggal dalam keadaan demikian. Yang ketiga adalah seorang
perempuan yang ditinggal pergi oleh suaminya padahal suaminya telah memenuhi
segala kebutuhan duniawinya lalu ia bertabarruj setelah kepergian sang suami.
Jangan pernah bertanya tentang mereka.” (HR. Ahmad no 22817 dll, shahih. Lihat
Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal 387)
Sedangkan tabarruj itu didefinisikan oleh para ulama’ dengan
seorang perempuan yang menampakkan “perhiasan” dan daya tariknya serta segala
sesuatu yang wajib ditutupi karena hal tersebut bisa membangkitkan birahi
seorang laki-laki yang masih normal.
Di samping itu, maksud dari perintah berjilbab adalah
menutupi segala sesuatu yang menjadi perhiasan (baca: daya tarik) seorang
perempuan. Maka sungguh sangat aneh jika ternyata pakaian yang dikenakan
tersebut malah menjadi daya tarik tersendiri. Sehingga fungsi pakaian tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
Meski demikian anggapan sebagian perempuan multazimah (yang
komitmen dengan aturan agama) bahwa seluruh pakaian yang tidak berwarna hitam
adalah pakaian “perhiasan” adalah anggapan yang kurang tepat dengan menimbang
dua alasan.
Yang pertama, sabda Nabi,
إن طيب الرجال ما خفي لونه وظهر ريحه ، وطيب النساء ما ظهر
لونه وخفي ريحه
“Wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas
warnanya tapi nampak bau harumnya. Sedangkan wewangian perempuan adalah yang
warnanya jelas namun baunya tidak begitu nampak.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul
Iman no.7564 dll, hasan. Lihat Fiqh Sunnah lin Nisa’, hal. 387)
Hadits ini mengisyaratkan bahwa adanya warna yang jelas
bukanlah suatu hal yang terlarang secara mutlak bagi seorang perempuan
muslimah.
Yang kedua, para sahabiyah (sahabat Nabi yang perempuan)
bisa memakai pakaian yang berwarna selain warna hitam. Bukti untuk hal tersebut
adalah riwayat-riwayat berikut ini:
عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ
فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ الْقُرَظِيُّ قَالَتْ
عَائِشَةُ وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً
بِجِلْدِهَا فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا قَالَتْ عَائِشَةُ مَا رَأَيْتُ مِثْلَ
مَا يَلْقَى الْمُؤْمِنَاتُ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا
Dari Ikrimah, Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian
dinikahi oleh Abdurrahman bin az Zubair. Aisyah mengatakan, “Bekas istri
rifa’ah itu memiliki kerudung yang berwarna hijau. Perempuan tersebut
mengadukan dan memperlihatkan kulitnya yang berwarna hijau. Ketika Rasulullah
tiba, Aisyah mengatakan, Aku belum pernah melihat semisal yang dialami oleh
perempuan mukminah ini. Sungguh kulitnya lebih hijau dari pada pakaiannya.”
(HR. Bukhari no. 5377)
Dari Ummi Khalid binti Khalid, Nabi mendapatkan hadiah
berupa pakaian berwarna hitam berukuran kecil. Nabi bersabda, “Menurut pendapat
kalian siapakah yang paling tepat kuberikan pakaian ini kepadanya?”. Para
sahabat hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas bersabda, “Bawa kemari Ummi
Khalid (seorang anak kecil perempuan yang diberi kunyah Ummi Khalid).” Ummi
Khalid dibawa ke hadapan Nabi sambil digendong. Nabi lantas mengambil pakaian
tadi dengan tangannya lalu mengenakannya pada Ummi Khalid sambil mendoakannya,
“Moga awet, moga awet.” Pakaian tersebut memiliki garis-garis hijau atau
kuning. Nabi kemudian berkata, “Wahai Ummi khalid, ini pakaian yang cantik.”
(HR. Bukhari no. 5823)
Meski ketika itu Ummi Khalid belum balig namun Nabi tidak
mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah
kemaksiatan. Sehingga hadits ini menunjukkan bolehnya seorang perempuan
mengenakan pakaian berwarna hitam yang bercampur dengan garis-garis berwarna
hijau atau kuning. Jadi pakaian tersebut tidak murni berwarna hitam.
Dari al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, “Sesungguhnya
Aisyah memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur saat beliau berihram.” (HR.
Ibnu Abi Syaibah 8/372, dengan sanad yang shahih)
Pada tulisan yang lewat telah kita bahas bahwa yang dimaksud
dengan celupan dengan ‘ushfur adalah celupan yang menghasilkan warna merah.
Perbuatan Aisyah sebagaimana dalam riwayat di atas menunjukkan
bahwa seorang perempuan muslimah diperbolehkan memakai pakaian berwarna merah
polos. Bahkan pakaian merah polos adalah pakaian khas bagi perempuan
sebagaimana keterangan di edisi yang lewat.
Berikut ini beberapa riwayat yang kuat dari salaf tentang
hal ini:
Dari Ibrahim an Nakha’I, bersama Alqamah dan al Aswad beliau
menjumpai beberapa istri Nabi. beliau melihat para istri Nabi tersebut
mengenakan pakaian berwarna merah.
Dari Ibnu Abi Mulaikah, aku melihat Ummi Salamah mengenakan
kain yang dicelup dengan ‘ushfur (baca:berwarna merah).
Dari Hisyam dari Fathimah bin al Mundzir, sesungguhnya asma’
memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah)
Dari Said bin Jubair, beliau melihat salah seorang istri
Nabi yang thawaf mengelilingi Ka’bah sambil mengenakan pakaian yang dicelup
dengan ‘ushfur (Baca: Berwarna merah). (Lihat Jilbab Mar’ah Muslimah karya al
Albani hal. 122-123).
Di samping itu riwayat-riwayat di atas juga menunjukkan
bahwa pakaian berwarna merah tersebut dipakai di hadapan banyak orang.
Singkat kata, yang dimaksud dengan pakaian yang menjadi
“perhiasan” yang tidak boleh dipakai oleh seorang muslimah ketika keluar rumah
adalah:
Pakaian yang terdiri dari berbagai warna (Baca: Warna
warni).
Pakaian yang dihias dengan garis-garis berwarna keemasan
atau berwarna perak yang menarik perhatian laki-laki yang masih normal. (Fiqh
Sunnah lin Nisa’, hal. 388).
Al Alusi berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa menurut kami
termasuk “perhiasan” yang terlarang untuk dinampakkan adalah kelakuan mayoritas
perempuan yang bergaya hidup mewah di masa kita saat ini yaitu pakaian yang
melebihi kebutuhan untuk menutupi aurat ketika keluar dari rumah. Yaitu pakaian
dari tenunan sutra terdiri dari beberapa warna (baca:warna-warni). Pada pakaian
tersebut terdapat garis-garis berwarna keemasan atau berwarna perak yang
membuat mata lelaki normal terbelalak. Menurut kami suami atau orang tua yang
mengizinkan mereka keluar rumah dan berjalan di hadapan laki-laki yang bukan
mahramnya dalam keadaan demikian itu disebabkan kurangnya rasa cemburu. Hal ini
adalah kasus yang terjadi di mana-mana”(Ruhul Ma’ani, 6/56, lihat Jilbab Mar’ah
Muslimah, karya Al Albani hal. 121-122).
Jika demikian keadaan di masa beliau, lalu apa yang bisa
kita katakan tentang keadaan masa sekarang! Allahul Musta’an (Hanya kepada
Allah kita memohon pertolongan).
Meskipun demikian, pakaian yang lebih dianjurkan adalah
pakaian yang berwarna hitam atau cenderung gelap karena itu adalah:
Pakaian yang sering dikenakan oleh para istri Nabi. Ketika
Shafwan menjumpai Aisyah yang tertinggal dari rombongan, Shafwan melihat sosok
hitam seorang yang sedang tidur (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits dari Aisyah yang menceritakan bahwa sesudah turunnya
ayat hijab, para perempuan anshar keluar dari rumah-rumah mereka seakan-akan di
kepala mereka terdapat burung gagak yang tentu berwarna hitam (HR Muslim)
***
0 Response to "Adab Berpakaian (3)"
Post a Comment