BismillahirRahmaanirRahiim
Serba Serbi Seputar Warna
Jilbab Putih
Lajnah Daimah (Komite Fatwa Para Ulama’ Saudi) pernah
mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apakah seorang perempuan diperbolehkan
memakai pakaian ketat dan memakai pakaian berwarna putih?”
Jawaban Lajnah Daimah, “Seorang perempuan tidak
diperbolehkan untuk menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya
atau keluar ke jalan-jalan dan pusat perbelanjaan dalam keadaan memakai pakaian
yang ketat, membentuk lekuk tubuh bagi orang yang memandangnya. Karena dengan
pakaian tersebut, perempuan tadi seakan telanjang, memancing syahwat dan
menjadi sebab timbulnya hal-hal yang berbahaya. Demikian pula, seorang
perempuan tidak diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih jika warna
pakaian semisal itu di daerahnya merupakan ciri dan simbol laki-laki. Jika hal
ini dilanggar berarti menyerupai laki-laki, suatu perbuatan yang dilaknat oleh
Nabi.” (Fatawa al Mar’ah, 2/84, dikumpulkan oleh Muhammad Musnid)
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada asalnya seorang
perempuan diperbolehkan memakai pakaian yang berwarna putih asalkan cukup tebal
sehingga tidak transparan/tembus pandang terutama ketika matahari bersinar
cukup terik. Hukum ini bisa berubah jika di tempat tersebut pakaian berwarna
putih merupakan ciri khas pakaian laki-laki maka terlarang karena menyerupai
lawan jenis bukan karena warna putih.
Oleh karena itu pandangan miring sebagian wanita multazimah
(yang komitmen dengan syariat) di negeri kita terhadap wanita yang berwarna
putih adalah pandangan yang tidak tepat karena di negeri kita pakaian berwarna
putih bukanlah ciri khas pakaian laki-laki, bahkan sebaliknya menjadi ciri
pakaian perempuan (Baca: Jilbab).
Pakaian Perhiasan
Dalam edisi yang lewat, telah kita bahas tentang salah satu
yang terlarang untuk pakaian perempuan yaitu bukan perhiasan dan telah kita
sebutkan dua kriteria untuk mengetahui hal tersebut. Namun beberapa waktu yang
lewat kami dapatkan penjelasan yang lebih tepat mengenai hal ini. Tepatnya dari
Syaikh Ali al Halabi, salah seorang ulama dari Yordania. Ketika beliau ditanya
tentang parameter untuk menilai suatu pakaian itu pakaian perhiasan ataukah
bukan bagi seorang perempuan, beliau katakan, “Parameter untuk menilai hal
tersebut adalah ‘urf (aturan tidak tertulis dalam suatu masyarakat)” (Puncak,
Bogor 14 Februari 2007 pukul 17:15).
Penjelasan beliau sangat tepat, karena dalam ilmu ushul fiqh
terdapat suatu kaedah: “Pengertian dari istilah syar’i kita pahami sebagaimana
penjelasan syariat. Jika tidak ada maka mengacu kepada penjelasan linguistik
arab. Jika tetap tidak kita jumpai maka mengacu kepada pandangan masyarakat
setempat (‘urf ).”
Misal pengertian menghormati orang yang lebih tua. Definisi
tentang hal ini tidak kita jumpai dalam syariat maupun dari sudut pandang
bahasa Arab. Oleh karena itu dikembalikan kepada pandangan masyarakat setempat.
Jika suatu perbuatan dinilai menghormati maka itulah penghormatan. Sebaliknya
jika dinilai sebagai penghinaan maka statusnya adalah penghinaan.
Hal serupa kita jumpai dalam pengertian pakaian perhiasan
bagi seorang muslimah yang terlarang. Misal menurut pandangan masyarakat kita
pakaian kuning atau merah polos bagi seorang perempuan yang dikenakan ketika
keluar rumah adalah pakaian perhiasan maka itulah pakaian perhiasan yang
terlarang. Akan tetapi di tempat atau masa yang berbeda pakaian dengan warna
tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan maka pada saat itu pakaian
tersebut tidak dinilai sebagai pakaian perhiasan yang terlarang.
Pakaian Hitam untuk Khatib Jum’at
Tidak dijumpai kata mufakat di antara para ulama’ mengenai
warna pakaian yang paling utama bagi seorang khatib, warna hitam ataukah putih.
Terdapat dua pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama, menganjurkan warna hitam. Ini merupakan
pendapat sebagian ulama’ bermazhab Hanafi. Mereka beralasan bahwa hal itu
merupakan bentuk meneladani perilaku para khalifah yang sudah turun temurun di
berbagai masa dan daerah.
Dalam Syarh al Multaqa, “Dianjurkan mengenakan pakaian
berwarna putih, demikian pula yang berwarna hitam karena warna hitam merupakan
simbol para khalifah bani abbasiah dan ketika Nabi berhasil menundukkan kota
Mekah, Nabi mengenakan sorban berwarna hitam.”
Dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Nabi memiliki sorban
berwarna hitam yang beliau kenakan pada saat dua hari raya. Ujung sorban beliau
biarkan terjulur di punggung beliau. (al Kamil, karya Ibnu Adi 6/2113 dari
Jabir, lihat pula Raddul Muhtar, 3/21).
عَنْ عَمْرِو بْنِ حُرَيْث أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ
“Dari Amr bin Huraits, sesungguhnya Rasulullah berkhutbah
dengan mengenakan sorban berwarna hitam.” (HR. Muslim)
Namun setelah dibandingkan dengan riwayat-riwayat yang lain
disimpulkan bahwa kejadian ini terjadi pada saat penaklukan kota Mekah.
“Seakan aku ingat Rasulullah yang sedang berkhutbah di atas
mimbar dengan bersorban hitam. Ujung sorban beliau biarkan di antara kedua
pundak beliau.” (HR. Muslim)
Pendapat kedua, merupakan pendapat mayoritas ulama’ yaitu
warna putih merupakan warna yang dianjurkan baik untuk khatib ataupun bukan.
Imam Syafi’i mengatakan, “Warna yang paling aku sukai adalah
warna putih.” (al Umm, 1/337)
Al Mawardi mengatakan, “Di antara kebiasaan Nabi dan para
khalifah yang empat memakai pakaian yang berwarna putih.” (lihat al Hawi al
Kabir, 2/440)
Imam Nawawi berkata, “Hendaknya khatib mengenakan pakaian
terbaik yang dia miliki dan yang paling utama adalah yang berwarna putih.” (al
Majmu’, 4/368)
Ibnu Qudamah berkata, “Pakaian yang paling utama adalah
pakaian yang berwarna putih karena Nabi bersabda, ‘Sebaik-baik pakaian kalian
adalah yang berwarna putih. Gunakanlah sebagai pakaian kalian dan kain kafan
kalian.” (al Mughni, 3/229)
Jika kita cermati sabda Nabi maka beliau menyebutkan bahwa
pakaian yang terbaik adalah pakaian yang berwarna putih. Sedangkan secara
praktek, Nabi mengenakan pakaian berwarna hitam namun tanpa dikaitkan dengan
hari Jum’at.
Dari Aisyah, beliau bertutur, “Pada suatu pagi Nabi keluar
rumah dengan berselimutkan pakaian berwarna hitam.” (HR. Muslim)
Dari Jabir, “Sesungguhnya ketika Nabi memasuki kota Mekkah
pada saat Fathu Mekkah beliau mengenakan sorban berwarna hitam.” (HR Muslim)
“Sesungguhnya Nabi berkhutbah di hadapan para sahabat saat
Fathu Makkah dengan bersorban hitam.” (HR. Muslim)
Dari Aisyah, “Kubuatkan untuk Rasulullah pakaian berwarna
hitam lalu beliau kenakan. Ketika beliau berkeringat, beliau dapatkan bau wol
lalu beliau campakkan pakaian tersebut karena beliau menyukai bau yang harum.”
(HR. Ahmad)
Belum kita dapatkan satupun hadits yang menjelaskan bahwa
Nabi memakai pakaian berwarna putih ataupun hitam. Yang kita dapatkan adalah
hadits-hadits yang bersifat umum tanpa dikaitkan dengan hari Jum’at.
Tapi jika dicermati dengan seksama, terdapat kaedah bahwa
sabda Nabi itu berlaku untuk seluruh umat beliau. Sedangkan Nabi telah
memotivasi agar memakai pakaian berwarna putih. Berdasarkan hal tersebut
pakaian berwarna putih itu lebih utama. Akan tetapi jika terkadang, seorang khatib
berpakaian serba hitam maka tidak apa-apa asal tidak dilakukan terus menerus
karena terus menerus berpakaian hitam saat menjadi khatib Jum’at adalah bid’ah
sebagaimana penegasan para ulama.
Al Mawardi mengatakan, “Yang pertama kali berkhutbah dengan
berpakaian hitam-hitam adalah Bani Abbasiyyah pada masa pemerintahan mereka
sebagai simbol mereka.” (al Hawi al Kabir, 2/440)
Ibnul Qayyim berkata, “Bani Abbasiyyah menjadikan warna
hitam sebagai simbol bagi mereka, para gubernur, dan para penceramah mereka.
Padahal Nabi tidak pernah memakai pakaian tertentu sebagai simbol beliau pada
saat berhari raya, shalat Jum’at dan pertemuan dengan banyak orang. Akan tetapi
kebetulan saat Fathu Mekkah beliau memakai sorban berwarna hitam, namun ini
bukanlah pakaian para sahabat yang lain. Bahkan tidak semua pakaian Nabi
berwarna hitam kala itu. Buktinya, kala itu bendara Nabi berwarna putih.”
(Zaadul Ma’ad, 3/358)
Lebih jauh lagi, al Ghazali berpandangan makruhnya khatib
berpakaian hitam. Beliau mengatakan, “Memakai pakaian berwarna hitam bukan
termasuk sunnah Nabi dan tidak pula mengandung nilai lebih. Bahkan sejumlah
ulama berpendapat bahwa memandang pakaian tersebut hukumnya makruh karena hal
tersebut merupakan perkara yang diada-adakan setelah Rasulullah.” (Ihya’ Ulumid
Din, 1/181)
Pada kesempatan yang lain beliau berkata, “Semata-mata warna
hitam untuk seorang khatib bukanlah perkara yang makruh namun juga tidak
dianjurkan karena pakaian yang paling Allah cintai adalah yang berwarna putih.”
(Ihya’ Ulumud Din, 2/336)
***
0 Response to "Adab Berpakaian (4)"
Post a Comment