1. Di antara keberkahan hari Jum’at, bahwa di dalamnya terdapat waktu-waktu dikabulkannya do’a.
Dalam ash-Shahihain terdapat hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hari Jum’at, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dalam ash-Shahihain terdapat hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hari Jum’at, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“فِيْهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ
يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ
وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا.”
“‘Di hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seorang Muslim
melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala,
niscaya permintaannya akan dikabulkan.’ Lalu beliau memberi isyarat
dengan tangannya yang menun-jukkan sedikitnya waktu itu.”[4]
Para ulama dari kalangan Sahabat, Tabi’in dan setelah mereka berbeda
pendapat tentang “waktu itu”, apakah (perkara) waktu tersebut tetap ada
(relevan hingga saat ini) ataukah sudah dihapus? Sementara bagi kelompok
yang menyatakan bahwa waktu itu tetap ada, mereka berselisih pendapat
tentang penentuan waktu tersebut, seluruhnya menjadi lebih dari menjadi
tiga puluh pendapat. Semua itu dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar
al-‘Asqalani رحمهما الله beserta dengan dalil-dalilnya.[5] Dari semua
pendapat itu, terdapat dua pendapat yang paling kuat.
Pertama, bahwa waktu itu dimulai dari duduknya imam sampai
pelaksanaan shalat Jum’at. Di antara dalilnya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya,
“عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ: أنَّ عَبْدَ اللهِ بْنُ عُمَرَ c قَالَ لَهُ: أَسَمِعْتَ
أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
شَأْنِ سَاعَةِ الْجُمُعَةِ ؟ قَالَ : قُلْتُ نَعَمْ. سَمِعْتُهُ يَقُولُ:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: هِيَ
مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ.”
Dari Abu Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari[6] Radhiyallahu anhubahwa
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata padanya, “Apakah engkau
telah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sehubungan dengan waktu ijaabah pada hari Jum’at?”
Lalu Abu Burdah mengatakan, ‘Aku menjawab, ‘Ya, aku mendengar ayahku
mengatakan bahwa, ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Yaitu waktu antara duduknya imam sampai shalat
dilaksanakan.’”[7]
Di antara orang yang menguatkan pendapat ini adalah Imam an-Nawawi
rahimahullah. Bahkan dia mengatakan, “Pendapat ini shahih, bahkan
shawaab (benar),” [8] Sedangkan Imam as-Suyuthi rahimahullah menentukan
waktu yang dimaksud (dengan waktu tersebut), adalah ketika shalat
didirikan.” [9]
Kedua, bahwa batas akhir dari waktu tersebut hingga setelah ‘Ashar.
Di antara argumentasinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh sebagian
penulis kitab Sunan, dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
“يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ فِيْهَا
عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ
فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ.”
“Hari Jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang Muslim pun yang
memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan
dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir
dari waktu tersebut jatuh setelah ‘Ashar.” [10]
Dan di antara orang yang menguatkan pendapat ini adalah Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah, dia mengatakan, “Ini adalah pendapat yang dipegang
oleh kebanyakan generasi Salaf, dan banyak sekali hadits-hadits
mengenainya ”[11]
Sebagian ulama menyebutkan bahwa hikmah dari tersamarnya waktu ini
adalah memotivasi para hamba agar bersungguh-sungguh dalam memohon,
memperbanyak do’a dan mengisi seluruh waktu dengan beribadah, seraya
mengharapkan pertemuannya dengan waktu yang penuh barakah itu.” [12]
0 Response to "Keutamaan Hari Jumat (1)"
Post a Comment