BismillahirRahmaanirRahiim
Menurut fatwa seorang Ulama besar : Asy-Syekh Al Hafidz
As-Suyuthi menerangkan bahwa mengadakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw,
dengan cara mengumpulkan banyak orang, dan dibacakan ayat-ayat al-Quran dan
diterangkan (diuraikan) sejarah kehidupan dan perjuangan Nabi sejak kelahiran
hingga wafatnya, dan diadakan pula sedekah berupa makanan dan hidangan lainnya
dengan cara yang tidak berlebihan adalah merupakan perbuatan Bid’ah hasanah,
dan akan mendapatkan pahala bagi orang yang mengadakannya dan yang
menghadirinya, sebab merupakan wujud kegembiraan, dan kecintaan / mahabbah
kapada Rosullullah saw.
Seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw :
Seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw :
مَنْ أَحَبَّنِى كَانَ مَعِيْ فِي
الْجَنـَّةِ
Artinya :
Barang siapa yang senang, gembira, dan cinta kepada saya maka akan berkumpul bersama dengan saya masuk surga
Barang siapa yang senang, gembira, dan cinta kepada saya maka akan berkumpul bersama dengan saya masuk surga
Dalam kitab “Anwarul Muhammadiyah“ karangan : Syekh Yusuf Bin Ismail An-Nabhani, diterangkan bahwa pada saat hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, seorang wanita budak belian dari Abu Lahab (tokoh kafir jahiliyyah) yang bernama Tsuwaibah menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran Nabi Muhammad Saw kepada Abu Lahab. Karena senangnya Abu Lahab mendapat berita itu, spontan budak wanitanya yang bernama Tsuwaibah itu dibebaskan dan dihadiahkan kepada Siti Aminah : Ibunda Muhammad Saw untuk menyusui bayinya tersebut.
Ketika Abu Lahab telah meninggal dunia seorang sahabat Nabi ada yang bertemu dalam mimpinya dan menanyakan tentang nasibnya di akhirat.
Abu Lahab menjawab : Saya disiksa selama-lamanya karena kekafiran saya tetapi pada tiap-tiap hari senin saya diberi keringanan dari siksaan bahkan aku bisa mencium dua jari tanganku dan bisa keluar airnya untuk saya minum.
Dan ketika ditanya : mengapa bisa demikian? Abu Lahab menjawab : Ini adalah merupakan hadiah dari Allah karena kegembiraanku pada saat kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Dalam sebuah hadits dikatakan :
مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِىْ كُنْتُ
شَفِيْعًا لَهُ يَـوْمَ الْقِيَا مَةِ. وَمَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا فِى مَوْلِدِى
فَكَأَ نَّمَا اَنْفَقَ جَبَلاً مِنْ ذَ هَبٍ فِى سَبِيْلِ اللهِ
Artinya :
Barang siapa yang memulyakan / memperingati hari kelahiranku maka aku akan memberinya syafa’at pada hari kiamat. Dan barang siapa memberikan infaq satu dirham untuk memperingati kelahiranku, maka akan diberi pahala seperti memberikan infaq emas sebesar gunung fi sabilillah.
Barang siapa yang memulyakan / memperingati hari kelahiranku maka aku akan memberinya syafa’at pada hari kiamat. Dan barang siapa memberikan infaq satu dirham untuk memperingati kelahiranku, maka akan diberi pahala seperti memberikan infaq emas sebesar gunung fi sabilillah.
Sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq berkata :
مَنْ أَنْفَقَ دِرْ هَماً فِى مَوْ لِدِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ رَفِيْقِيْ فِى الْجَنَّةِ
Artinya :
“Barang siapa yang memberikan infaq satu dirham untuk memperingati kelahiran Nabi Saw : akan menjadi temanku masuk surga”.
“Barang siapa yang memberikan infaq satu dirham untuk memperingati kelahiran Nabi Saw : akan menjadi temanku masuk surga”.
Sahabat Umar Bin Khoththob berkata :
مَنْ عَظَّمَ مَوْ لِدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ أَحْيَا اْلإِسْلاَمَ
Artinya :
“Barang siapa yang memuliakan / memperingati kelahiran Nabi Saw, berarti telah menghidupkan Islam”.
“Barang siapa yang memuliakan / memperingati kelahiran Nabi Saw, berarti telah menghidupkan Islam”.
Sahabat Ali Bin Abi Tholib berkata :
مَنْ عَظَّمَ مَوْ لِدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَخْرُجُ مِنَ الدُّنْياَ اِلاَّ بِاْلإِ
يْمَانِ
Artinya :
“Barang siapa yang memuliakan / memperingati kelahiran Nabi Saw, apabila pergi meninggalkan dunia pergi dengan membawa iman”.
“Barang siapa yang memuliakan / memperingati kelahiran Nabi Saw, apabila pergi meninggalkan dunia pergi dengan membawa iman”.
Melihat besarnya pahala tersebut maka banyaklah kaum muslimn muslimat yang selalu melahirkan rasa cintanya kepada Nabi dan mengagungkan hari kelahiran Nabi dengan cara-cara yang terpuji seperti pada tiap-tiap malam Senin atau malam Jum’at mengadakan jama’ah membaca kitab Al- Barzanji, sholawat maulud, dan ada pula yang menyediakan tabungan yang berwujud uang hasil tanaman atau sebagian gajinya untuk kepentingan memperingati kelahiran Nabi Saw.
PERINGATAN MAULID NABI SHALLALLAHU
‘ALAIHI WA SALLAM MENURUT SYARI’AT ISLAM
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla
yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan
menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga
shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
keluarga, dan para Shahabatnya.
Allah Azza wa Jalla telah
menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang disyari’atkan
Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa perkataan maupun perbuatan; juga
setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap hal baru
yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan kepada agama Islam, baik berupa
i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan
tertolak, walaupun maksudnya baik. Semua ini karena bid’ah merupakan penambahan
terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh
Allah Azza wa Jalla dari golongan Yahudi dan Nasrani. Selain itu, melakukan
bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menganggapnya tidak sempurna.
Keyakinan ini mengandung kerusakan yang besar dan bertentangan dengan firman
Allah Azza wa jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
memperingatkan terhadap bid’ah.
Mengada-ada hal baru dalam agama,
seperti peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti
beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala belum menyempurnakan agama-Nya bagi
umat ini, atau beranggapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum
menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan umatnya. Tidak diragukan
lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya besar lantaran menentang Allah
Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Karena Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan
agama ini bagi hamba-Nya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi paling mulia dan terakhir.
Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya. Seandainya Peringatan
Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu benar-benar termasuk ajaran agama
yang diridhai Allah Azza wa Jalla, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menerangkannya kepada umatnya; Atau paling tidak, pasti telah
dikerjakan oleh para Shahabatnya. Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan
demikian, jelaslah hal itu bukan bagian dari ajaran Islam dan termasuk perkara
yang diada-adakan (bid’ah) dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab
(Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar mereka
Diantara hal aneh dan mengherankan
ialah banyak orang yang giat dan bersemangat menghadiri acara-acara yang
bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban
yang Allah Azza wa Jalla syari’atkan seperti shalat wajib, shalat Jum’at, dan
shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka terbiasa dengan perbuatan maksiat dan
dosa-dosa besar. Mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kemungkaran yang
besar. Ini semua dikarenakan oleh lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta
banyaknya noda yang mengotori hati.
Lebih aneh lagi, sebagian pendukung
maulid mengklaim bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang
menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan
menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang amat
buruk. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari
kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak berkomunikasi dengan seorang manusia pun,
dan tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.
Mencintai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bukanlah dengan menyelenggarakan acara-acara perayaan maulid
semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua yang
dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan diperingatkannya, dan tidak
beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali dengan yang beliau syari’atkan.
ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN
MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]
Para ulama ummat, para pemimpin, dan
para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang
menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi
bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak
diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan keimanan mereka,
sebaliknya banyak hal yang menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan
mereka.[2]
BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA
MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:
Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:
1. Peringatan Maulid Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan keterangan sedikit pun dan ilmu
tentang itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkannya
baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Padahal Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”
[al-Hasyr/59:7]
Juga berfirman :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada diri
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah Azza wa Jalla dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak
mengingat Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengadakan suatu
yang baru yang tidak ada dalam urusan agama kami, maka amalan itu tertolak”.
Dalam riwayat Imam Muslim,
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan
tersebut tertolak”.
2. Khulafa-ur Rasyidîn dan para
Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya tidak pernah mengadakan
peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah mengajak
untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
…فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ
الْـخُلَـفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَـا
وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ؛
فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
”…Maka wajib atas kalian berpegang
teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk.
Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah
perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang
diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3]
Peringatan maulid tidak pernah
dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.
Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu melakukannya.
al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah
berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari
Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena bila hal itu
baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka
tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu
melaksanakannya.”[4]
3. Peringatan hari kelahiran (ulang
tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan
tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah, sebagaimana
keterangan diatas. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi, bahkan ada
pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa jadi, mereka adalah
orang-orang Atheis.[5]
Orang yang pertama menciptakannya
adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko
menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.[6]
Apakah layak bagi orang Muslim
berakal untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti kebiasaan mereka serta
menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“…Pada hari ini telah Aku
sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah
Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” [al-Mâ-idah/5:3]
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah
(wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat AllahSubhanahu wa Ta’alal
terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah Azza wa Jalla
menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan
tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau
sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin.
Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang
haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang
disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada
kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah
Azza wa Jalla :
وَتَـمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا
وَّعَدْلاًً “
Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu
(Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil …” [al-An’âm/6:115]
Maksudnya, benar dalam kabar yang
disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama
disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada
mereka.
Maka ridhailah Islam untuk diri
kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karenanya Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur`an).
Mengenai firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala (al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbâs
Radhiyallahu ‘anhuma, “Maksudnya adalah Islam. Allah Azza wa Jalla telah
mengabarkan kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Mukminin
bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka, sehingga mereka tidak
membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa Jalla telah
menyempurnakan Islam sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah
menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan
memurkainya selamanya.”[7]
Orang yang melaksanakan
Sunnah-Sunnah dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah Maulid Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam- maka mereka menjadi asing di masyarakat, pendukung perayaan
ini. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dengan sangat
jelas. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan satu jalan pun
yang dapat menghantarkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah
beliau jelaskan kepada umatnya. Kalau peringatan Maulid Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla,
tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya atau
melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا
كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ
لَـهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ
“Tidaklah Allah Azza wa Jalla
mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang
diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang
diketahuinya kepada mereka.” [8]
5. Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacam
itu, timbul kesan bahwa Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan agama ini,
sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya. Juga menimbulkan
kesan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum tuntas menyampaikan agama
ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal
baru dalam agama ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan
agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.
6. Dalam Islam tidak ada bid’ah
hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ
ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Setiap bid’ah adalah kesesatan dan
setiap kesesatan tempatnya di neraka” [9]
Imam asy-Syâfi’i rahimahullah
berkata.
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa menganggap baik sesuatu
(ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at” [10]
Diantara kaidah ahli ilmu yang telah
ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan
perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”[11]
Syaikh Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali
al-Hakami rahimahullah (wafat th. 1377 H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa
semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima; Semuanya jelek
tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikitpun di
dalamnya; Semuanya adalah dosa tidak berpahala; Semuanya batil tidak ada
kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang tidak diizinkan
Allah Azza wa Jalla dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para Shahabatnya.”[12]
Para ulama Islam dan para peneliti
kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut
dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul
yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar
mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan juga
agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.
7. Memperingati kelahiran Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuktikan kecintaan terhadap Rasululah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kecintaan itu hanya dapat dibuktikan
dengan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan Sunnah
beliau, dan mentaati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ
اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu
mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku, niscaya Allah Azza wa Jalla
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa jalla Maha Pengampun,
Maha Penyayang.” [Ali Imrân/3:31]
al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah
berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang
mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak berada di atas jalan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya
mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang
dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap perkataan,
perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahîh, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengamalkan suatu
amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.”[13]
Oleh karena itu, maksud firman Allah
Azza wa Jalla yang maknya : “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah
Azza wa Jalla, maka ikutilah aku. Niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihimu”
adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi kecintaan kalian
kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini lebih besar daripada
kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan ulama ahli hikmah, “Yang
jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi yang jadi ukuran adalah jika
engkau dicintai.” al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ada suatu kaum yang
mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla, lalu Allah Azza wa Jalla menguji mereka
melalui ayat ini …”
Kemudian firman Allah Azza wa Jalla
yang maknanya, “Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa Jalla Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalian akan memperoleh pengampunan, berkat
keberkahan utusan-Nya.”
8. Memperingati Maulid Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai perayaan berarti
menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari raya mereka, padahal kita
telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka. [15]
9. Orang yang berakal tidak mudah
terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati maulid Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena tolok ukur kebenaran itu bukan jumlah orang yang
mengamalkannya, namun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut
pemahaman Salafush Shâlih.
10. Berdasarkan kaidah syariat yaitu
mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
” … Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan hari Kemudian”
[an-Nisâ’/ 4:59]
Demikian juga dengan firman-Nya:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ
شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Tentang sesuatu apa pun yang kamu
berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah Azza wa Jalla.”
[asy-Syûra/42: 10]
Orang yang mengembalikan persoalan
maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini kepada Allah Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan manusia
agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
memerintahkan ataupun memperingati kelahiran beliau dan beliau sendiri, juga
para sahabat beliau. Dengan demikian dapat diketahui bahwa peringatan Maulid
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah berasal dari Islam, tetapi
merupakan perbuatan bid’ah.
11. Yang disyariatkan bagi seorang
Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau. Karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau
bersabda, “Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus sebagai nabi, serta
hari aku diberikan wahyu.” [16]
Yang disyariatkan adalah meneladani
beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
12. Perayaan hari kelahiran Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perbuatan ghuluw
(berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ،
فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.
“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw
(berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama
ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [17]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan yang Allah berikan dan ridhai.
Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya,
bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh
diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan
ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir
Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk
menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau,
“Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab:
اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى.
“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah
Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau
adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan :
قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ
قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.
“Katakanlah sesuai dengan apa yang
biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah
sampai kalian terseret oleh syaithan” [18]
Kebanyakan qashidah dan puji-pujian
yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap
Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ
النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَـا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ
اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.
“Janganlah kalian mengkultuskan
diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam.
Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba
Allah dan Rasul-Nya” [19]
.
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]
.
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]
13. Berbagai perbuatan syirik,
bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam
Dalam perayaan maulid Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti
kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan wanita, menggunakan
nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering terjadi perbuatan
syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di antaranya dengan
merokok pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan
membuang-buang harta. Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di
masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk
tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah
perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang
berpegang teguh kepada kebenaran.[21]
14. Dalam peringatan maulid terdapat
keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.
Dengan alasan itu mereka berdiri
dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali. Karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan keluar dari kubur beliau
sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan seseorang (dalam keadaan
sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Beliau akan tetap
berada dalam kubur beliau hingga hari Kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin
yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Dârul Karâmah.[22]
Allah Azza wa Jalla berfirman, yang
artinya, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati
(pula).” (az-Zumar/39:30). Dan dalam ayat yang lain, Allah Azza wa Jalla
berfirman yang maknanya, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian
benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan
(dari kuburmu) di hari Kiamat.” [al-Mukminûn/23: 15-16].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ
وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ
“Aku adalah penghulu manusia di hari
Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta orang
yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan syafa’at”[23]
Ayat dan hadits di atas serta
berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar dari
kubur mereka pada hari Kiamat nanti. al-Allâmah Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz
rahimahullah menyatakan, “Ini adalah pendapat yang sudah disepakati oleh para
ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.” [24]
Sebagai tambahan, ketika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka menghormati
beliau n dengan cara berdiri setelah beliau wafat.
HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH
SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
1. Mengikuti Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, mentauhidkan Allah Azza wa Jalla, menjauhi syirik,
mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beradab dengan adabnya.
2. Lebih mendahulukan perintah dan
syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada hawa nafsu dan
keinginan dirinya.
3. Banyak bershalawat untuk
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa
Jalla berfirman.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ
وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi k dan ucapkanlah
salam dengan penuh penghormatan kepadanya” [al-Ahzâb/33:56]
4. Mencintai orang yang dicintai
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang
Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.
5. Mencintai al-Qur’ân yang
diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai Sunnahnya,
dan mengetahui batas-batasnya.[25]
FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA
PERAYAAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.
1. Al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin
al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H) berkata :
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu…”[26]
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu…”[26]
2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]
3. al-‘Allâmah Ibnul Hajj
rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]
“…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]
4. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz
bin Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka…”[29]
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka…”[29]
5. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah
at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“…Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya.
“…Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya.
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ
عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“…Maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang
pedih.” [an-Nûr/24:63]
Jika dalam acara maulid yang
diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas
melakukannya…”[30]
6. Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.
Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.
Kedua: dari sudut pandang syari’at
maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at
Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya
atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau
telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]
Karena tidak ada sesuatu pun yang
terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah
maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya.
Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan jalan tertentu agar dapat
sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan
sendiri yang mengantarkan kepada Allah ? Ini merupakan kejahatan terhadap hak
Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan
bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya : “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…” [al-Mâidah/5: 3]”
[31]
7. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin
‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang maknanya : “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang maknanya : “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]
Maka ketika mereka tidak melakukan
peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah…
Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan
peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perbuatan bid’ah
yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh maupun dari
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam…”[32]
Demikian uraian yang dapat kami
sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam tercurah
kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada
keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik hingga hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah,
Rabb seluruh alam.
Marâji’ :
1. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
2. Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
3. Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm.
4. al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
5. Siyar A’lâmin Nubalâ.
6. al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
7. Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
8. al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
9. Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
10. Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
11. Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
12. ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
13. al-Bida’ al-Hauliyyah.
14. Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
15. al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
16. Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
Dan kitab-kitab lainnya.
1. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
2. Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
3. Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm.
4. al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
5. Siyar A’lâmin Nubalâ.
6. al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
7. Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
8. al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
9. Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
10. Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
11. Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
12. ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
13. al-Bida’ al-Hauliyyah.
14. Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
15. al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
16. Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
Dan kitab-kitab lainnya.
0 Response to "Maulid Nabi Muhammad SAW "
Post a Comment